Baligh Akil ( Bagian 1 ) | Buletin Dakwah Bina Ukhuwah

Baligh Akil ( Bagian 1 ) | Buletin Dakwah Bina Ukhuwah


Terdengar aneh mungkin ketika kita membaca tema kali ini, tetapi setidaknya dengan uraian tulisan ini penulis berharap kita semua mampu menakar diri terkait makna esensial dari kedewasaan pola pikir serta pola tindak keseharian kita sampai detik ini.

Mungkin di antara pembaca ada yang sering mendengar pembicaraan tentang arti kedewasaan seorang manusia.

Terkadang persepsi sebagian kita selalu menghubungkan makna kedewasaan dengan pertambahan usia, meskipun memang usia tua belum tentu jaminan seorang manusia layak dikatakan dewasa, sebagaimana sebuah ungkapan mengatakan, “Tua itu pasti, dewasa itu pilihan”.

Dalam kajian fiqih Islam, idiom dewasa disebut dengan istilah “Akil Baligh”. Secara semantic (bahasa), kata “Akil baligh” berasal dari suku kata bahasa Arab, yakni: 'aqala yang berarti  berakal, mengetahui, atau memahami. Sementara itu kata “baligh” berasal dari padanan kata “Balagha” yang bermakna sampai. Akil baligh sendiri merupakan sebuah fase dimana seseorang sudah sampai pada taraf usia tertentu untuk dibebani hukum syariat (taklif) dan mampu mengetahui atau mengerti hukum tersebut.

Dalam kajian fiqih Islam, orang yang akil baligh disebut dengan istilah mukallaf. Akil (orang yang berakal) adalah lawan dari ma'tuh (bodoh), majnun (orang gila), dan muskir (orang mabuk). Sedangkan baligh adalah lawan kata dari sabiy (anak-anak). Orang yang berakal adalah orang yang sehat sempurna pikirannya, dapat membedakan baik dan buruk, benar dan salah, mengetahui kewajiban, dibolehkan dan yang dilarang, serta yang bermanfaat dan yang merusak.

Dalam konteks hukum Islam, seseorang yang sudah baligh secara otomatis dibebani hukum syariat, yang ditandai dengan berfungsinya akal secara penuh sehingga ia mengerti hukum yang mengikatnya tersebut.

Untuk itu orang bodoh dan orang gila tidak dibebani hukum karena mereka tidak dapat mengerti hukum dan tidak dapat membedakan baik dan buruk, maupun benar dan salah.

Sebagaimana pula dalam hal ini ulama fikih sepakat menyatakan bahwa berakal menjadi kriteria syarat dalam ibadah dan muamalah, seperti halnya dalam wilayah ibadah, berakal menjadi syarat wajib shalat, puasa, dan sebagainya. Kondisi yang sama dalam cakupan muamalah serta kajian hukum, terutama masalah pidana dan perdata.

Cermin kedewasaan seseorang terlihat dari pola sikapnya. Untuk itu, sikap sangatlah diwarnai dengan cara berpikir dan tindakan kita dalam menghadapi hidup ini, dengan kedewasaan kemudian dapat diukur seberapa matangnya sikap kita dalam menghadapi tantangan hidup ini.

Sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits dari sahabat Ibnu Umar –semoga Allah Ta'ala meridhoinya-, ia berkata:
 “Adalah Nabi Shalallahu 'alaihi wa Sallam- membuat gambar persegi empat, lalu menggambar garis panjang di tengah persegi empat tadi dan keluar melewati batas persegi itu. Kemudian beliau juga membuat garis-garis kecil di dalam persegi tadi, di sampingnya: (persegi yang digambar Nabi). Dan beliau bersabda : “Ini adalah manusia, dan (persegi empat) ini adalah ajal yang mengelilinginya, dan garis (panjang) yang keluar ini, adalah cita-citanya. Dan garis-garis kecil ini adalah penghalang-penghalangnya. Jika tidak (terjebak) dengan (garis) yang ini, maka kena (garis) yang ini. Jika tidak kena (garis) yang itu, maka kena (garis) yang setelahnya. Jika tidak mengenai semua (penghalang) tadi, maka dia pasti tertimpa masa tua renta.”(HR. Bukhari).

Secara teori, kedewasaan sangat dipengaruhi oleh pengalaman hidup. Orang yang mau belajar dari kehidupan, akan mempermudah proses percepatan kedewasaannya, sebab tidak bisa disangkal bahwa tempaan hidup, kesusahan, penderitaan itu akan sangat mempercepat atau mematangkan cara pandang hidup seseorang menjadi lebih dewasa. Karenanya dapat kita katakan bahwa kedewasaan bertunas dari jiwa yang telah mengalami tempaan.

Sejenak mari kita belajar dari proses pertumbuhan pohon kurma, dimana tradisi para petani di wilayah Teluk ketika menanam biji kurma, pada bagian atas permukaan tanah ketika biji itu ditanam, mereka simpan sebuah batu di atasnya, agar kelak ketika tunas kurma itu muncul, sedikit demi sedikit tunas mungil itu bisa menggeser batu yang lebih kuat dan berat dibandingkan dengan dirinya, sehingga dikemudian hari tunas itu akan tumbuh menjulang tinggi ke langit dengan kokohnya.

Sebagai sumber ilmu, al-Qur'an telah menjabarkan kepada kita makna asasi kedewasaan secara utuh, setidaknya ada empat kriteria yang mesti dimiliki sehingga seorang individu terakui kedewasaannya secara paripurna, yakni kedewasaan secara emosional, kedewasaan berpikir, kedewasaan sosial, dan yang paling utama kedewasaan secara ruhiyah.

Di tulisan edisi yang akan datang, insyaAlloh penulis akan menguraikan secara sederhana –tentunya dengan sudut pandang syari'at- terkait empat kriteria di atas.

Wallahu a'lam bisshowab.

Oleh Ridwan, Lc, M.Pd.I
( Kepala Sekolah SMAIT HARUM & Anggota Dewan Syariah Bina Ukhuwah )

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Silahkan Tulis Komentar Anda Disini...